"Kenapa saya punya keterbatasan? Kenapa harus saya", ujar gadis cilik berusia 2 tahun tatkala ia divonis dokter menderita tunarungu. Hanya kasih sayang orangtuanyalah yang mampu membuat ia bertahan hingga sekarang meski setiap saat harus memakai alat bantu dengar. Ia mengungkapkan bahwa mengalami diskriminasi merupakan hal lazim yang dialami, karena ia menjalani pendidikan di sekolah umum. Sebagai penyandang tuna rungu ia selalu dikucilkan oleh kawan-kawan sebayanya. “Ketika di jenjang SD, SMP dan SMA, saya selalu jadi pusat perhatian, namun kala itu saya tidak mendapat perhatian karena berhasil jadi artis remaja atau bintang iklan. Mereka memperhatikan, karena saya adalah seorang tuna rungu, yang acapkali bicara terbata-bata dan amat jarang merespon teguran atau bahkan sapaan orang-orang sekitar”. Namun seiring waktu berjalan, ia dapat merubah itu semua, dari suatu keterbatasan menjadi sebuah kelebihan. Gadis kecil itu bernama Angkie Yudistia.

 Angkie tak memilih sekolah luar biasa, ia belajar di sekolah umum. Karena masih merasa kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah, ia rajin mengikuti les privat. Ayahnya juga banyak membelikan buku sehingga Angkie punya hobi membaca. Dilema dihadapinya ketika lulus SMA. Dokter memberinya saran untuk tidak melanjutkan kuliah karena stres akan memperparah pendengarannya. Namun, Angkie menolak saran itu. ”Memilih tidak kuliah tetap saja jadi stres,” katanya.

Maka, mendaftarlah Angkie di Jurusan Periklanan London School of Public Relations, Jakarta, dan lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,5. Dengan program akselerasi, Angkie kemudian melanjutkan program master di bidang komunikasi pemasaran.

Angkie selalu menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang tunarungu dalam setiap interview. Inilah getirnya kehidupan, berbulan-bulan ia melamar pekerjaan di berbagai tempat, selama itu juga ia telah ditolak hingga lebih dari 20 perusahaan dengan alasasan yang beragam namun pada intinya sama, yakni mereka tidak menghargai kekurangan seseorang. Yang terlebih menyakitkan lagi adalah ketika ia ditolak mentah-mentah, ketika perusahaan yang dilamar itu mengetahui bahwa Angkie tidak dapat menggunakan fasilitas telepon.

Kendati begitu, Angkie tetap berusaha, berusaha dan berusaha tanpa mengenal lelah. Ia beranggapan bahwa di tolak dari sebuah perusahaan atau dua puluh perusahaan sekalipun, tidak mengahalangi niatnya untuk mencobanya lagi. Ia selalu yakin bahwa di Indonesia ini terdapat ribuan perusahaan, dan mengenai ditolaknya ia pada saat melamar sebelumnya sama sekali tidak di ambil hati. Justru itu semua menjadi semacam motivasi yang melecut dalam diri Angkie, sampai datang sebuah kesempatan untuknya bekerja sebagai humas dari sebuah perusahaan multi nasional.

Kini, belasan tahun berlalu semenjak pertama kali ia divonis dokter, Angkie benar-benar membuktikan bahwa dengan keterbatasannya mendengar dapat dirubah menjadi sebuah kelebihan. Usai meraih gelar S2, perlahan demi perlahan Angkie bangkit untuk mengejar impiannya. Menjadi finalis Abang None yang mewakili Jakarta Barat, lalu menjadi duta Indonesia untuk perhelatan Asia-Pacific Development Center of Disability di Bangkok, Thailand.

Dan, tak lupa ia pun turut memberikan dorongan moral serta semangat untuk penderita difabel lainnya, dengan mendirikan Thisable Enterprise yang perduli terhadap permasalahan sosial dengan menggunakan kemampuan entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial yang meliputi pemberdayaan kaum penyandang disabilitas di Indonesia.

Angkie juga aktif membantu Yayasan Tuna Rungu Sehjira, bersama para perempuan penyandang disabilitas lainnya untuk berbagi pengalaman agar dapat menerima keterbatasan dan memaksimalkan segala potensi yang dimiliki mereka.

Kini, cita-cita kecil Angkie sudah tercapai. Tapi ia masih terus ingin melebarkan sayapnya. Sebuah buku yang menginspirasi pun dia telurkan, yakni Perempuan Tunarungu Menembus Batas. “Saya ingin seperti Helen Keller (penulis yang tunarungu dan tunanetra). Dengan keterbatasannya, ia tetap bisa mencapai cita-cita yang luas,” ujar Angkie dengan serius.


"Dream what you want to dream, go where you want to go, be what you want to be, because you have only one chance to do all things you want in life" demikian pesan dari seorang perempuan tunarungu penembus batas, Angkie Yudistia.

Sumber : kompasiana.com